Menerapkan Reward dan Punishment dalam Pendidikan Anak
"REWARD and PUNISHMENT”
BIJAK DALAM "REWARD and PUNISHMENT” - Saya mencoba mengcopas tulisan yang tersebar di
grup WA, yang ditulis Masyhuri Az Zauji. Mudah-mudahan ini bisa sedikit memberikan gambaran dan femahan kepada
kita tentang konsep Reward dan Punishment terhadap anak. Di beberapa kesempatan
banyak ayah bunda yang bertanya terkait penerapan "hadiah dan
hukuman" dalam mendidik anak. Ada beberapa poin yang saya pahami dalam
aplikasi "reward and punishment" dalam pengasuhan orangtua terhadap
anak agar setiap hadiah dan hukuman yang diberikan semakin membangun jiwa
positif, semakin mendewasakan.
SATU
Dampak dan efek yang sama. Saya pribadi
menilai, tiada beda dampak dan efek terhadap perkemabngan psikologis anak dalam
pemberian hadiah dan hukuman. Baik hadiah maupun hukuman sama-sama membawa
potensi baik dan buruk, sama-sama membawa pengaruh positif dan negatif terhadap
perkembangan mental anak. Hadiah dan pujian, jika diberikan dengan cara
yang baik dan bijak akan menjadi pemicu lahirnya karakter positif yang akan mendewasakan
jiwa seorang anak. Demikian pula dengan hukuman. Tidak selamanya hukuman akan
menyisakan luka, bahkan akan menjadi pelajaran yang paling berharga dalam
kehidupan ananda. Pemberian hadiah dan hukuman dengan cara yang salah
akan mengerdilkan jiwa, menyuburkan kemanjaan dan menghambat kedewasaan.
Sehingga setiap orangtua wajib memperhatikan 'jenis dan takaran' setiap hadiah
atau hukuman yang diberikan.
DUA
Hukuman tidak menjamin ketaatan, hadiah tidak
serta merta berbuah motivasi kebaikan. Tidak sedikit orangtua yang sudah
'kewalahan' dalam menghadapi 'kenakalan' anak-anaknya. Dihukum semaking
membangkang, diberi hadiah semakin banyak tuntutan. Jadi harus bagaimana? Simak
saja ulasan berikutnya... :)
TIGA
Hadiah dan hukuman sebagai tolok ukur maksimalisasi/efektifitas
edukasi. Inilah kunci utamanya, agar tidak mengalami kebingungan
sebagaimana yang diungkapkan pada poin ke-dua. Edukasi, memberikan pemahaman
yang benar dengan cara yang baik pada ananda tentang berbagai hal adalah PR
utama setiap orangtua. Hal penting berikutnya adalah keteladanan, juga wajib
diupayakan akan nilai-nilai edukasi yang diberikan betul-betul 'membekas' dalam
kehidupan keseharian. Dari edukasi dan keteladanan yang diberikan inilah
akan menjadikan anak banyak mengerti tentang berbagai hal dan memiliki motivasi
untuk mengamalkan kebaikan sebagaimana yang orangtua harapkan. Anak yang
sering melanggar aturan karena ia tidak memiliki cukup "pemahaman dan
motivasi" dalam ketaatan dan kebaikan-kebaikan. Ia memilih hidup
'semaunya' karena keterbatasan pemahaman dan minimnya contoh pelaku kebaikan
dalam kehidupannya. Orangtua tidak perlu banyak/ sering-sering
mengeluarkan senjata "hadiah dan hukuman" ketika edukasi dan
keteladanan maksimal diberikan. Dan orangtua sudah pasti akan selalu
"kehabisan amunisi" hadiah dan bingung menentukan pola hukuman yang
bisa menimbulkan efek jera, manakala lalai dan lemah dalam memberikan pemahaman
yang baik serta memberikan contoh teladan.
EMPAT
Hukuman bukan menimbulkan jera, hanya sarana
menegakkan aturan yang telah disepakati bersama. Ada dua anak dari
keluarga berbeda, sebut saja si Fulana dan Fulani. Kedua anak ini diberi
hukuman yang sama oleh masing-masing orangtuanya. Fulana dan Fulani mendapat
hukuman "tidak diberi uang jajan selama tiga hari" karena keduanya
melalaikan shalat.
Akan tetapi hukuman yang sama ini menimbulkan
efek psikologis yang berbeda. Si Fulana merasa sangat terpukul, marah,
tersinggung, menganggap orangtuanya tidak menyayanginya, dan perasaan-perasaan
negatif lainnya. Berbeda dengan si Fulani, ia merasa tidak ada beban dalam
menerima 'hukuman' ini. Fulani menyadari bahwa inilah yang harus ia terima
karena kesalahan dia sendiri.
Mengapa hal ini bisa terjadi ???
Mari kita cermati dua kasus sederhana yang
mungkin pernah atau sedang dialami oleh kita sebagai orang tua;
Orangtua Fulana berkata, "Ya sudah karena
hari ini kamu tidak shalat, selama tiga hari kamu gak boleh jajan..."
sementara orangtua Fulana jarang mengajarkan shalat dan tidak pernah sama
sekali menawarkan aturan bahwa jika tidak shalat akan dapat 'hukuman' tidak
belanja selama 3 hari.
Dan ketika ada yang tanya, "Kenapa bapak/ibu
menghukum Fulana seperti ini?". Orangtua Fulana menjawab, "Ya, biar
kapok dia. Salah dia sendiri, susah banget disuruh shalat...".
Kemudian
dengan bahasa berbeda, orangtua Fulani berkata, "Nak, kemarin kita sudah
sepakat bahwa jika kamu malas atau tidak shalat maka kamu gak boleh jajan
selama tiga hari..." Dan ketika ditanya alasan pemberian hukuman, orangtua
Fulani berkata, "Ini adalah bagian dari kesepakatan yang sudah kami
lakukan...".
Intinya, hukuman akan memberatkan dan melemahkan
jika edukasi dan keteladanan minim diberikan, serta tidak adanya
kesepakatan-kesepakatan. Hukuman akan mengokohkan nilai-nilai kebaikan dan
kesadaran jika diiringi dengan pembelajaran dan keteladanan maksimal serta
melibatkan anak dalam setiap keputusan dan aturan.
LIMA
Jadikan hadiah sebagai kejutan, bukan sesuatu
yang dijanjikan. "Nak, kalo
kamu rajin shalat lima waktu dalam satu bulan penuh, nanti mama akan belikan
kamu jam tangan yang cantik...". Ataupun “sekarang kita berangkat tarawih, nanti pulangnya kita beli
ini/itu..." Jika kita sering menggunakan kalimat serupa di atas
untuk merayu anak untuk melakukan sebuah kebaikan, siap-siaplah kita kehabisan
modal.
Sesekali sih gak masalah sekedar selingan. Tapi
jangan sampai hadiah menjadi landasan motivasi utama dalam diri anak untuk
melakukan kebaikan atau sebuah ketaatan. Akhirnya, jika tidak ada hadiah ia
tidak mau berbuat baik, jika tidak ada seuatu ia tidak mau taat. Hal ini
berbahaya!!!
Komentar
Posting Komentar